Djoyo Kusumo

Bungkarno diajak HOS Cokroaminoto sowan Eyang Santri-Djoyokusumo  di Cidahu-, dan digembleng olah Kebatinanya
Pangeran Djoyo Kusumo lahir tahun 1770, dimasa remaja banyak bergumul dengan ulama-ulama dan mendalami ilmu agama. Semasa mudanya iya bergaul dan bersahabat dengan Pangeran Sosro Ningrat dan Pangeran Jingut Maduraredja yang juga merupakan kakek Raden Mas Sugandi yang menjadi Pakubuwono V.

Adanya hubungan sodara antara Pangeran Djoyo Kusumo dengan pangeran-pangeran Kasunanan Surakarta (Solo) membuat iya semakin akrab belajar sastra jawa bersama Raden Mas Sugandi dan diangkat menjadi Putra Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amengkunegoro III. Dimasa inilah Pakubuwono ke IV memberikan latihan kepada Adipati Amon untuk mempelajari suluruh aspek kehidupan kesejahteraan masyarakat dan permasalahan sosial. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jingut Madurareja, Pangeran Sosro Diningrat dan Pangeran Djoyo Kusumo banyak di minta nasehat-nasehatnya oleh Putra Mahkota. Eyang santri adalah salah satu kerabat dekat Putra Mangkunegara karna iya cucu kandung Sambernyowo atau Mangkunegara I. Pada tahun 1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat seluk beluk masyarakat Jawa.

Adi met : surat ini lalu diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari Raden Ronggo Sutrisno yang telah berkeliling Jawa bagian timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa bagian barat dan Kyai Muhamad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dan dibantu oleh Pangeran Jungut Maduraja yang menguasai perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu.

Disini juga perlu dicatat pihak yang membantu terselesaikannya surat ini termasuk Pangeran Djoyo Kusumo, masa surat ini semasa terbitnya surat sastra Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Kraton Jogjakarta melawan Kraton Surakarta dan menyatukan Kerajan Mataram seperti semula, setalah selesainya surat ini Pangeran Djoyo Kusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggo Sutrisno dan Sostro Dipuro tentang keindahan pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djoyo Kusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa.
Dalam berkelilingnya Jawa, iya menikmati keindahan pulau Jawa, iya kunjungi seluruh makam-makam kremat, ulama dan ahli kebatinan dan pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya wafat, iya dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasehat Pakubuwono VI saat Pangeran Djoyo Kusumo berada di Sumedang.
Sesampainya iya di Solo merasakan ada perubahan besar di bumi Jawa, iya akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran pulau Solo, di danau itu iya mendapatkan wangsit bahwa” Jawa akan masuk ke pinggir jurang, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah seperti matahari pagi”.
Pangeran Djoyo Kusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi kelaparan hebat yang bisa kemungkinan raja Jawa kembali merajai pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Semarang serta menguasai Surabaya. Lalu Pangeran Djoyo Kusumo dan Pangeran Jungut Madurejo bertemu dengan Pakubuwono VI dan meminta agar mendukung pertemuan ini. Disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana pembesar Jogjakarta dan pembesar Surakarta sepakat melawan peperangan itu (melawan Belanda), singkatnya perang Diponogoro meletus, sang Pangeran adakan pertemuan lanjutan yang membahan pengadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo, suatu malam Pangeran Dipenogoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karna ada penghianat yang melapirkan kepada Belanda, pasukan Belanda mengepung Kraton dan mencari Pangeran Diponogoro, namun tidak ketemu karena kereta kuda Pangeran Diponogoro rupanya di pendam oleh prajurit keraton dan Pangeran Dipenogoro pun berlari dan sembunyi kearah pasar kliwon. Pada tahun 1830 akhirnya selesai dengan kekelahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karna terbongkar rahasianya insiden semaran yang menemukan banyak data dukungan Solo terhadap Jogja. Pangeran Djoyo Kusumo pun dicurigai oleh Belanda.
Namun beliau akhirnya melarikan diri ke zbagelan lalu ke Cilacap, disinipun iya di kepung dengan banyak pendukung Belanda dengan menyamar sebagai petani. Pangeran Djoyokusumo bersembunyi di Sukabumi di desa Cidahu sebagai petani. Didesa Cidahu Pangeran Djoyo Kusumo dipanggil Eyang Santri. Setelah perang Pangeran Dipenogoro telah usai di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djoyo Kusumo, meraka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri di kunjungi banyak pejuang dan aktifis politik yang menentang Belanda. 

Usia Eyang Santri 159 tahun iya menjadi saksi dari kekalahan pulau Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan, ditahun 1880an iya di kunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi demi menghadapi zaman modern. Pada suatu pagi Wahidin disuruh mandi dikolam air panas dan bermeditasi, disana juga Eyang Santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. 

Selain Wahidin yang sering kerap datang kerumah Eyang Santri adalah Drik van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang balajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900an HOS Tjokro Aminoto dengan ditemani Sosro Kardono, bahkan pembentukan afdeeling A sarekat islam di Garut mereka meminta doa restu kepada Eyang Santri. Pangeran ahli sufi dari Jogjakarta, Pangeran Suryo Mentaram juga pernah datang, ndoro purbo ahli tirakt dan DRS RMP Sosro Katono.
Adi met : Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokro Sminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB), setelah masuk THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan di gembleng kekuatan batin untuk melawan Belanda terhadap kemerdekaan Republik Negara INDONESIA.
Eyang Santri lahir pada tahun 1770 wafat 31 mei 1929 diumur 159 tahun, data diambil dari beberapa sumber termasuk dari cucu buyutnya Gray Tito Kusumo yang ini menjadi waris situs di Gunung Salak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar