Bungkarno diajak HOS Cokroaminoto sowan Eyang Santri-Djoyokusumo di Cidahu-, dan digembleng olah Kebatinanya |
Adanya hubungan sodara antara Pangeran Djoyo Kusumo
dengan pangeran-pangeran Kasunanan Surakarta (Solo) membuat iya semakin akrab
belajar sastra jawa bersama Raden Mas Sugandi dan diangkat menjadi Putra
Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amengkunegoro
III. Dimasa inilah Pakubuwono ke IV memberikan latihan kepada Adipati Amon
untuk mempelajari suluruh aspek kehidupan kesejahteraan masyarakat dan
permasalahan sosial. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jingut Madurareja,
Pangeran Sosro Diningrat dan Pangeran Djoyo Kusumo banyak di minta
nasehat-nasehatnya oleh Putra Mahkota. Eyang santri adalah salah satu kerabat
dekat Putra Mangkunegara karna iya cucu kandung Sambernyowo atau Mangkunegara
I. Pada tahun 1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat seluk beluk
masyarakat Jawa.
Adi met : surat ini lalu diperintahkan kepada
satu tim yang terdiri dari Raden Ronggo Sutrisno yang telah berkeliling Jawa
bagian timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa bagian barat
dan Kyai Muhamad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian
semua fasilitas dan dibantu oleh Pangeran Jungut Maduraja yang menguasai
perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu.
Disini juga perlu dicatat pihak yang membantu
terselesaikannya surat ini termasuk Pangeran Djoyo Kusumo, masa surat ini
semasa terbitnya surat sastra Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya
Kraton Jogjakarta melawan Kraton Surakarta dan menyatukan Kerajan Mataram
seperti semula, setalah selesainya surat ini Pangeran Djoyo Kusumo tertarik
dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggo Sutrisno dan Sostro
Dipuro tentang keindahan pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djoyo Kusumo memutuskan
untuk berkeliling Jawa.
Dalam berkelilingnya Jawa, iya menikmati keindahan pulau
Jawa, iya kunjungi seluruh makam-makam kremat, ulama dan ahli kebatinan dan
pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya wafat, iya dipanggil pulang ke Solo
untuk menjadi penasehat Pakubuwono VI saat Pangeran Djoyo Kusumo berada di
Sumedang.
Sesampainya iya di Solo merasakan ada perubahan besar di
bumi Jawa, iya akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di
pinggiran pulau Solo, di danau itu iya mendapatkan wangsit bahwa” Jawa akan
masuk ke pinggir jurang, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah seperti matahari
pagi”.
Pangeran Djoyo Kusumo akhirnya sadar bahwa
perang akan diiringi kelaparan hebat yang bisa kemungkinan raja Jawa kembali
merajai pelabuhan-pelabuhan Jawa dan Semarang serta menguasai Surabaya. Lalu Pangeran
Djoyo Kusumo dan Pangeran Jungut Madurejo bertemu dengan Pakubuwono VI dan
meminta agar mendukung pertemuan ini. Disinilah kemudian terjadi kesepakatan
rahasia dimana pembesar Jogjakarta dan pembesar Surakarta sepakat melawan
peperangan itu (melawan Belanda), singkatnya perang Diponogoro meletus, sang
Pangeran adakan pertemuan lanjutan yang membahan pengadangan pasukan di
Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo, suatu malam Pangeran
Dipenogoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karna ada
penghianat yang melapirkan kepada Belanda, pasukan Belanda mengepung Kraton dan
mencari Pangeran Diponogoro, namun tidak ketemu karena kereta kuda Pangeran
Diponogoro rupanya di pendam oleh prajurit keraton dan Pangeran Dipenogoro pun
berlari dan sembunyi kearah pasar kliwon. Pada tahun 1830 akhirnya selesai
dengan kekelahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karna terbongkar
rahasianya insiden semaran yang menemukan banyak data dukungan Solo terhadap
Jogja. Pangeran Djoyo Kusumo pun dicurigai oleh Belanda.
Namun beliau akhirnya melarikan diri ke
zbagelan lalu ke Cilacap, disinipun iya di kepung dengan banyak pendukung
Belanda dengan menyamar sebagai petani. Pangeran Djoyokusumo bersembunyi di
Sukabumi di desa Cidahu sebagai petani. Didesa Cidahu Pangeran Djoyo Kusumo
dipanggil Eyang Santri. Setelah perang Pangeran Dipenogoro telah usai di tahun
1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran
Djoyo Kusumo, meraka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi pangeran menolak dan
memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri di kunjungi
banyak pejuang dan aktifis politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang Santri 159 tahun iya menjadi saksi dari kekalahan pulau Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan, ditahun 1880an iya di kunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi demi menghadapi zaman modern. Pada suatu pagi Wahidin disuruh mandi dikolam air panas dan bermeditasi, disana juga Eyang Santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin.
Selain Wahidin yang sering kerap datang kerumah Eyang Santri adalah Drik van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang balajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900an HOS Tjokro Aminoto dengan ditemani Sosro Kardono, bahkan pembentukan afdeeling A sarekat islam di Garut mereka meminta doa restu kepada Eyang Santri. Pangeran ahli sufi dari Jogjakarta, Pangeran Suryo Mentaram juga pernah datang, ndoro purbo ahli tirakt dan DRS RMP Sosro Katono.
Usia Eyang Santri 159 tahun iya menjadi saksi dari kekalahan pulau Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan, ditahun 1880an iya di kunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi demi menghadapi zaman modern. Pada suatu pagi Wahidin disuruh mandi dikolam air panas dan bermeditasi, disana juga Eyang Santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin.
Selain Wahidin yang sering kerap datang kerumah Eyang Santri adalah Drik van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang balajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900an HOS Tjokro Aminoto dengan ditemani Sosro Kardono, bahkan pembentukan afdeeling A sarekat islam di Garut mereka meminta doa restu kepada Eyang Santri. Pangeran ahli sufi dari Jogjakarta, Pangeran Suryo Mentaram juga pernah datang, ndoro purbo ahli tirakt dan DRS RMP Sosro Katono.
Adi met : Bung Karno sendiri diajak oleh
Tjokro Sminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB),
setelah masuk THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan di
gembleng kekuatan batin untuk melawan Belanda terhadap kemerdekaan Republik
Negara INDONESIA.
Eyang Santri lahir pada tahun 1770 wafat 31
mei 1929 diumur 159 tahun, data diambil dari beberapa sumber termasuk dari cucu
buyutnya Gray Tito Kusumo yang ini menjadi waris situs di Gunung Salak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar